Aturan PHK dalam UU Cipta Kerja

Proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) dan peraturan turunannya diatur untuk memberikan kejelasan dan perlindungan bagi pekerja/buruh serta pengusaha. Ketentuan terkait PHK terdapat dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Alur Proses PHK dalam UU Cipta Kerja

  1. Alasan PHK yang Diperbolehkan
    PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha dengan alasan yang sah, antara lain:
  2. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan.
  3. Perusahaan melakukan efisiensi karena mengalami kerugian atau untuk mencegah kerugian.
  4. Perusahaan tutup karena force majeure atau keadaan tertentu.
  5. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran berat atau tindak pidana.
  6. Pekerja/buruh mangkir selama 5 hari berturut-turut tanpa keterangan yang sah.
  7. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri.
  8. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun.
  9. Pekerja/buruh meninggal dunia.
  10. Kewajiban Perundingan
  11. Sebelum melakukan PHK, pengusaha wajib merundingkan dengan pekerja atau serikat pekerja untuk mencari solusi agar PHK tidak terjadi.
  12. Jika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, pengusaha tetap dapat melakukan PHK dengan memberikan pemberitahuan tertulis.
  1. Pemberitahuan Tertulis
    Pemberitahuan tertulis harus disampaikan kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja sekurang-kurangnya 14 hari sebelum PHK atau 7 hari untuk pekerja/buruh dalam masa percobaan.
  2. Upaya Hukum Jika Terjadi Perselisihan
    Jika pekerja/buruh atau serikat pekerja menolak PHK, maka:
  3. Perselisihan diselesaikan melalui mekanisme perundingan bipartit.
  4. Jika tidak tercapai kesepakatan, dapat dilanjutkan ke mediasi melalui Dinas Ketenagakerjaan.
  5. Jika mediasi gagal, dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk diputuskan secara hukum.
  6. Hak Pekerja yang Terkena PHK
    Pekerja/buruh yang di-PHK berhak atas:
  7. Uang pesangon sesuai ketentuan.
  8. Uang penghargaan masa kerja (UPMK) jika memenuhi syarat.
  9. Uang penggantian hak (cuti tahunan yang belum diambil, biaya penggantian perumahan, dan lain-lain).
  10. Besaran Pesangon dan UPMK
  11. Jika PHK karena penggabungan, peleburan, atau efisiensi → 1 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hak
  12. Jika PHK karena perusahaan pailit atau force majeure → 0,5 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hak
  13. Jika PHK karena pelanggaran berat → tanpa pesangon, hanya mendapat UPMK dan uang penggantian hak jika memenuhi syarat.

Poin Penting dalam UU Cipta Kerja Terkait PHK

  1. Pengusaha tidak perlu lagi meminta izin kepada lembaga terkait untuk melakukan PHK.
  2. Penyelesaian PHK harus melalui tahapan bipartit, mediasi, dan PHI jika ada sengketa.
  3. Hak-hak pekerja yang terkena PHK dijamin dan besaran kompensasi telah diatur secara rinci dalam PP No. 35 Tahun 2021.

UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) mengubah ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sebelumnya diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perubahan ini juga diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021. Berikut adalah perubahan penting dalam pasal terkait PHK:

1. Penghapusan Izin PHK dari Lembaga Terkait

  • Sebelumnya, berdasarkan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003, PHK baru dapat dilakukan setelah mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
  • Dalam UU Cipta Kerja, izin ini dihapus. Pengusaha cukup memberikan pemberitahuan tertulis tanpa memerlukan persetujuan lembaga terkait.
    Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003Diubah oleh UU Cipta Kerja, cukup dengan pemberitahuan tertulis dan perundingan dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja.

2. Penambahan dan Perubahan Alasan PHK

Alasan PHK diatur lebih rinci dan beberapa tambahan diakomodasi dalam UU Cipta Kerja:
✅ Perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah kerugian (sebelumnya hanya karena mengalami kerugian).
✅ Perusahaan tutup karena keadaan memaksa (force majeure) → diperjelas dalam UU Cipta Kerja.
✅ PHK karena pekerja/buruh mangkir selama 5 hari berturut-turut tanpa keterangan yang sah dan telah dipanggil secara tertulis.
✅ PHK karena penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan perusahaan → menjadi lebih fleksibel bagi pengusaha.

➡️ Pasal 154A UU Cipta Kerja → Mengatur alasan PHK secara lebih terperinci dibandingkan dengan UU No. 13 Tahun 2003.


3. Perubahan Besaran Pesangon dan UPMK

Dalam UU Cipta Kerja, besaran pesangon dan uang penghargaan masa kerja dikurangi dalam beberapa kasus:
✅ PHK karena efisiensi → 1 kali pesangon (sebelumnya 2 kali pesangon).
✅ PHK karena perusahaan tutup akibat kerugian → 0,5 kali pesangon (sebelumnya 1 kali pesangon).
✅ PHK karena pelanggaran berat → tanpa pesangon (sebelumnya tetap ada pesangon meski dikurangi).

➡️ Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 → Diubah dalam Pasal 40 PP No. 35 Tahun 2021 yang menurunkan besaran pesangon dalam beberapa kondisi.


4. Penyelesaian Perselisihan PHK

  • Sebelumnya, penyelesaian PHK harus melalui Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) sejak awal.
  • Dalam UU Cipta Kerja, penyelesaian PHK disederhanakan menjadi:
    1. Perundingan bipartit → antara pengusaha dan pekerja/serikat pekerja.
    2. Mediasi → jika bipartit gagal.
    3. PHI → jika mediasi gagal.

➡️ Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 → Diubah untuk menyederhanakan proses penyelesaian perselisihan PHK.


5. PHK Karena Alasan Perubahan Status Perusahaan

  • Sebelumnya, pekerja yang terkena PHK akibat perubahan status perusahaan (misalnya merger atau akuisisi) berhak atas 2 kali pesangon.
  • Dalam UU Cipta Kerja, hak tersebut dikurangi menjadi 1 kali pesangon jika terjadi penggabungan atau akuisisi.

➡️ Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003 → Diubah dalam Pasal 40 PP No. 35 Tahun 2021 dengan pengurangan nilai pesangon.


Perbandingan Singkat Perubahan Besaran Pesangon:

Alasan PHKUU No. 13 Tahun 2003UU Cipta Kerja + PP No. 35 Tahun 2021
Efisiensi karena kerugian2 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hak1 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hak
Perusahaan tutup karena force majeure1 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hak0,5 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hak
Penggabungan atau akuisisi perusahaan2 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hak1 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hak
Pelanggaran berat1 kali pesangon + UPMK + uang penggantian hakTanpa pesangon, hanya UPMK dan uang penggantian hak

Poin Utama Perubahan

✔️ Proses PHK menjadi lebih fleksibel untuk pengusaha.
✔️ Nilai pesangon dalam beberapa kasus menjadi lebih rendah.
✔️ Penyelesaian perselisihan PHK disederhanakan (tidak perlu izin pengadilan).
✔️ Alasan PHK diperluas dan diperjelas untuk mengakomodasi kebutuhan dunia usaha.


Jangka waktu untuk menggugat PHK diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja dan diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

  1. Batas Waktu Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI):
    ➡️ Gugatan terhadap PHK harus diajukan ke PHI dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak terjadinya perselisihan.
    ➡️ Hal ini merujuk pada ketentuan dalam Pasal 171 UU No. 13 Tahun 2003 (yang tidak diubah dalam UU Cipta Kerja).
  2. Tahapan Sebelum Gugatan ke PHI:
    Perundingan Bipartit → Harus diselesaikan dalam waktu maksimal 30 hari sejak perundingan dimulai.
    ✅ Jika bipartit gagal, maka diajukan ke mediasi atau konsiliasi melalui Dinas Ketenagakerjaan.
    ✅ Jika mediasi atau konsiliasi gagal, baru dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam waktu maksimal 1 tahun sejak perselisihan timbul.
  3. Jika PHK Dilakukan Tanpa Sepengetahuan Pekerja:
    ➡️ Jika pekerja merasa PHK tidak sah atau melanggar ketentuan, maka jangka waktu 1 tahun tetap dihitung sejak pekerja menerima pemberitahuan PHK secara resmi (baik lisan maupun tertulis).

➡️ Intinya:

  • Gugatan PHK ke PHI = Maksimal 1 tahun sejak perselisihan terjadi.
  • Penyelesaian bipartit dan mediasi → Harus dilakukan dulu sebelum ke PHI.
  • Jika dalam 1 tahun tidak ada gugatan → Gugatan dianggap kedaluwarsa atau gugur secara hukum.

Hengki Kristian Siahaan, S.T., S.H., M.H.