Prosedur pemberian Surat Peringatan (SP) diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan turunannya, khususnya terkait pelanggaran disiplin kerja atau pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB). Berikut adalah prosedur umumnya berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan aturan turunan lainnya:
1. Dasar Pemberian Surat Peringatan
- Surat peringatan diberikan karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh, misalnya:
- Ketidakhadiran tanpa izin
- Pelanggaran peraturan internal perusahaan
- Kinerja yang tidak memadai
- Pelanggaran etika atau tata tertib kerja
2. Jenis dan Tahapan Surat Peringatan
Pemberian surat peringatan biasanya dilakukan secara bertahap, sebagai berikut:
a. Surat Peringatan I (SP I)
- Diberikan saat pekerja pertama kali melakukan pelanggaran ringan hingga sedang.
- Berlaku selama 6 bulan atau sesuai ketentuan dalam PKB/PP.
b. Surat Peringatan II (SP II)
- Diberikan jika pekerja melakukan pelanggaran yang sama atau pelanggaran lain dalam masa berlakunya SP I.
- Berlaku selama 6 bulan atau sesuai ketentuan dalam PKB/PP.
c. Surat Peringatan III (SP III)
- Diberikan jika pekerja kembali melakukan pelanggaran yang sama atau pelanggaran lain dalam masa berlaku SP II.
- Berlaku selama 6 bulan atau sesuai ketentuan dalam PKB/PP.
3. Proses Pemberian Surat Peringatan
Pemeriksaan internal
- Perusahaan melakukan investigasi terkait pelanggaran yang dilakukan pekerja.
- Pekerja diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi atau pembelaan.
Penyampaian Surat Peringatan
- Surat peringatan disampaikan secara tertulis dan ditandatangani oleh atasan langsung atau pihak HRD.
- Harus dijelaskan alasan pemberian SP dan konsekuensi jika pelanggaran diulang.
Dokumentasi
- SP yang diberikan harus dicatat dalam data personalia pekerja.
4. Konsekuensi Setelah SP III
- Jika pekerja masih melakukan pelanggaran setelah SP III, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sesuai ketentuan dalam:
- Pasal 161 UU No. 13 Tahun 2003
- Peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB)
5. Ketentuan Penting
- Pemberian SP harus adil dan konsisten.
- Pekerja berhak mengajukan sanggahan atau keberatan atas SP yang dianggap tidak sesuai.
- Jika terjadi perselisihan terkait SP, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui bipartit, mediasi, atau Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Jika di tempat kerja ada PKB atau PP yang mengatur pemberian SP, maka ketentuan dalam PKB atau PP tersebut yang berlaku selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Secara umum, pemberian surat peringatan (SP) pertama dan terakhir secara bersamaan tidak dibenarkan dalam ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, terutama merujuk pada Pasal 161 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berikut penjelasannya:
1. Prinsip Bertahap dalam Pemberian SP
- Pemberian surat peringatan harus dilakukan bertahap sesuai dengan prinsip progresif.
- Artinya, SP I diberikan terlebih dahulu, jika pelanggaran berlanjut atau terulang dalam masa berlaku SP I, maka dapat diberikan SP II, dan seterusnya hingga SP III.
- Tujuan pemberian SP secara bertahap adalah untuk memberikan kesempatan kepada pekerja memperbaiki kesalahan atau kinerjanya sebelum sampai pada sanksi berat seperti PHK.
2. Pengecualian dalam Kasus Pelanggaran Berat
Perusahaan dapat langsung memberikan SP terakhir (atau langsung melakukan PHK) tanpa melalui tahapan SP jika pekerja melakukan pelanggaran berat yang diatur dalam:
Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Ketentuan Pasal 158 (UU) Ketenagakerjaan) yang mencakup pelanggaran berat seperti:
- Pencurian atau penggelapan di lingkungan kerja
- Penganiayaan, perbuatan asusila, atau perjudian di tempat kerja
- Membawa senjata tajam atau narkotika ke tempat kerja
- Mengancam keselamatan rekan kerja atau pimpinan
- Membocorkan rahasia perusahaan yang merugikan perusahaan
3. Jika Tidak Ada Pelanggaran Berat
Jika pelanggaran yang dilakukan bukan termasuk pelanggaran berat, maka perusahaan tidak boleh langsung memberikan SP terakhir tanpa melalui tahapan SP I dan SP II terlebih dahulu.
4. Risiko Hukum Jika Langsung Diberikan SP Terakhir
Jika perusahaan langsung memberikan SP terakhir tanpa melalui proses bertahap (tanpa dasar pelanggaran berat):
- Pekerja bisa mengajukan keberatan atau gugatan ke Dinas Ketenagakerjaan atau Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
- Jika PHI menilai bahwa pemberian SP terakhir tidak sah karena tidak sesuai prosedur, maka SP bisa dibatalkan dan perusahaan berpotensi terkena kewajiban membayar ganti rugi atau mempekerjakan kembali pekerja.
Kesimpulan
- SP pertama dan terakhir tidak boleh diberikan bersamaan untuk pelanggaran ringan atau sedang.
- Jika terjadi pelanggaran berat, perusahaan bisa langsung memberi SP terakhir atau langsung melakukan PHK sesuai ketentuan dalam PKB atau PP.
- Jika bukan pelanggaran berat, SP harus diberikan secara bertahap sesuai prinsip keadilan dan prosedur ketenagakerjaan.
Pengecualian di mana perusahaan dapat langsung memberikan Surat Peringatan (SP) terakhir atau bahkan langsung melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa melalui tahapan SP I, II, dan III. Pengecualian ini diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 (sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja) dan aturan turunannya, khususnya terkait pelanggaran berat atau keadaan tertentu. Berikut adalah situasi yang menjadi dasar pengecualian:
1. Pelanggaran Berat
Perusahaan dapat langsung memberikan SP terakhir atau melakukan PHK tanpa melalui tahapan SP jika pekerja melakukan pelanggaran berat seperti:
- Pencurian atau penggelapan barang milik perusahaan atau rekan kerja di tempat kerja.
- Penganiayaan, perbuatan asusila, atau perkelahian di tempat kerja.
- Penggunaan narkotika atau membawa senjata tajam di tempat kerja.
- Mengancam keselamatan kerja atau melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan orang lain di tempat kerja.
- Membocorkan rahasia perusahaan yang merugikan perusahaan.
Poin-poin ini sebelumnya diatur dalam Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003, namun ketentuan ini sudah dibatalkan oleh Putusan MK No. 012/PUU-I/2003. Meski begitu, dasar pelanggaran berat biasanya tetap diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), sehingga masih bisa dijadikan dasar untuk memberikan sanksi langsung.
2. Ketidakmampuan Pekerja yang Terbukti Secara Nyata
Perusahaan dapat langsung mengambil tindakan tegas jika pekerja:
✅ Tidak mampu menjalankan pekerjaan sesuai perjanjian kerja dalam waktu tertentu, meski sudah diberikan kesempatan untuk memperbaiki.
✅ Melakukan kelalaian fatal yang berdampak pada kerugian perusahaan atau keselamatan kerja.
3. Pekerja Mangkir atau Bolos Berturut-Turut
Perusahaan dapat langsung memberikan SP terakhir atau melakukan PHK jika:
✅ Pekerja tidak masuk kerja selama 5 hari berturut-turut tanpa alasan yang sah dan tanpa pemberitahuan tertulis.
✅ Sudah dilakukan pemanggilan secara tertulis oleh perusahaan sebanyak dua kali tetapi tidak ada tanggapan dari pekerja.
Hal ini sesuai dengan Pasal 168 UU No. 13 Tahun 2003.
4. Pekerja Melanggar Perjanjian Kerja, PP, atau PKB dengan Dampak Serius
Jika pekerja melanggar ketentuan dalam:
✅ Perjanjian Kerja
✅ Peraturan Perusahaan (PP)
✅ Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
➡️ Jika pelanggaran dianggap serius dan telah diatur sebagai pelanggaran berat, perusahaan dapat langsung memberikan SP terakhir atau melakukan PHK.
5. Dalam Kondisi Khusus (Force Majeure atau Perubahan Kondisi Perusahaan)
Jika terjadi perubahan besar dalam perusahaan seperti:
✅ Perubahan struktur perusahaan yang menyebabkan efisiensi.
✅ Kondisi force majeure seperti bencana alam, kebakaran, atau kerusuhan yang mempengaruhi kelangsungan bisnis.
➡️ Dalam kasus ini, perusahaan dapat mengambil tindakan langsung, termasuk PHK tanpa melalui proses SP bertahap.
Kesimpulan
Pengecualian terhadap prinsip pemberian SP bertahap hanya bisa terjadi jika:
- Ada pelanggaran berat yang diatur dalam PP atau PKB.
- Pekerja mangkir atau tidak mampu menjalankan pekerjaan setelah diberikan kesempatan memperbaiki.
- Kondisi force majeure atau perubahan struktur perusahaan yang signifikan.
Jika pelanggaran tidak termasuk pelanggaran berat atau tidak diatur dalam PP atau PKB, maka perusahaan tetap wajib mengikuti proses SP secara bertahap.
Hengki Kristian Siahaan, S.T., S.H., M.H.